Negara dan Air mata Rakyat seharusnya berjalan berdampingan dan saling mengisi. Negara Tak Bisa Terus Menutup Mata di Hadapan Air Mata Rakyat. Judul ini sangat relevan dengan kenyataan Indonesia saat ini.
Kasus umum yang dimaklumkan Negara

















Negara selalu merasa terbiasa dengan dinamika kehidupan seperti
- Seorang ibu di Bekasi, menjual rumah satu-satunya karena yakin uang dari polis asuransi akan cair sebelum anaknya masuk kuliah. Tapi uang itu tak pernah datang.
- Seorang pensiunan guru di Surabaya, setiap hari mengecek email dan nomor rekening. Hari ini ia hanya makan nasi dan garam.
Ironis nya, justru saat mereka terpuruk, negara malah mengunci dana yang menjadi hak mereka. Negara bukan saja lamban — negara malah menjadi tembok penghalang.
Kami tidak bicara soal hukum pidana yang menjerat para pengelola. Itu biarlah hukum berjalan. Tapi hak konsumen tak boleh digadaikan dalam proses itu.
Apakah negara tidak lagi tahu perbedaan antara pelaku kejahatan dan korban? Apakah seorang ibu harus turun ke jalan dan mengemis haknya, baru negara mau mendengar?
Jika negara membekukan dana tanpa mengembalikannya kepada pemilik yang sah, maka itu bukan keadilan — itu perampasan terselubung yang dibungkus legalitas.
Jangan lupa: hukum bukan hanya tentang pasal. Tapi tentang nurani. Dan hari ini, nurani bangsa ini sedang dikubur hidup-hidup.
Mengapa Negara Tidak Menyelamatkan, Tapi Malah Membekukan?
Bayangkan Anda menabung seumur hidup. Untuk anak, untuk masa tua, untuk hidup yang tenang. Lalu satu hari, uang itu hilang. Dan saat Anda minta kejelasan, negara berkata:
“Maaf, uang Anda dibekukan karena perusahaan Anda terkait kasus pidana.”
Bukan Anda yang mencuri. Bukan Anda yang menggelapkan. Tapi uang Anda yang disita. Dan lebih kejam lagi: tidak ada satu pun pejabat yang bisa pastikan kapan atau apakah uang itu akan kembali.
Inilah yang terjadi pada pemegang polis WanaArtha. Negara sibuk menyelamatkan bukti kejahatan — tetapi lupa menyelamatkan korban kejahatan.
Kami bertanya: di mana OJK ketika produk ini dijual? Di mana Kejaksaan ketika menyita dana tanpa memetakan kepemilikan sah? Di mana Kementerian Keuangan yang seharusnya menjamin kepercayaan publik terhadap sistem keuangan?
Jangan berlindung di balik istilah “proses hukum” jika yang dikorbankan adalah rakyat kecil. Proses hukum tidak boleh jadi mesin pemiskinan rakyat.
Jika negara tidak sanggup membedakan siapa korban dan siapa penjahat, maka negara telah gagal bukan hanya dalam hukum, tapi juga dalam hati nurani.
Apa Lagi yang Harus Dikorbankan, Sebelum Negara Bangun?
Di grup WhatsApp korban WanaArtha, hampir setiap minggu ada kabar duka. Ada yang meninggal dunia karena kanker tanpa bisa membayar pengobatan. Ada yang bunuh diri karena malu tak bisa menafkahi anak.
Apa lagi yang harus dikorbankan? Kehidupan? Nyawa?
Uang yang mereka tabung bukan untuk foya-foya. Itu uang harapan. Uang masa depan. Tapi justru negara yang seharusnya jadi pelindung, ikut jadi penghalang.
Kejaksaan menyita aset — tapi tak membedakan mana milik konsumen dan mana hasil kejahatan. OJK diam dalam pengawasan, dan kini tak mau ikut bertanggung jawab. Kementerian Keuangan bicara prosedur, tanpa sedikit pun menyentuh luka masyarakat.
Ini bukan sekadar kelalaian. Ini adalah pengkhianatan terhadap amanat konstitusi: bahwa negara wajib melindungi rakyatnya.
Kami bukan minta belas kasihan. Kami minta negara menjalankan tanggung jawabnya. Jangan jadikan kami tumbal dari kesalahan yang bukan kami buat.
Jika Negara Tak Lagi Bisa Dipercaya, Maka Apa Lagi yang Tersisa?
Rakyat menaruh uangnya di asuransi karena percaya. Karena iklan, karena janji regulator, karena ada izin OJK. Mereka percaya sistem.
Tapi saat sistem itu runtuh, tidak ada yang datang menolong. Izin itu ternyata bukan jaminan. Negara ternyata bukan pelindung. Hanya penonton yang membekukan, mengulur, dan melupakan.
Jika negara tidak hadir saat rakyat membutuhkan perlindungan dari kehancuran finansial, maka apa lagi fungsi negara? Jika lembaga keuangan bisa menghilangkan dana rakyat dan negara tidak bisa memulihkan, maka kita semua hidup dalam sistem yang cacat.
Saat ini, puluhan ribu korban tak tahu harus kemana. Mereka hanya bisa berharap keadilan dari negara yang makin hari makin asing.
Kami tidak minta keajaiban. Kami hanya minta negara mengembalikan hak kami yang sah, sebelum semuanya terlambat. Sebelum kepercayaan itu mati, dan hanya kemarahan yang tersisa.